Dampak Kebijakan Satu Anak: Krisis Ketidakseimbangan Gender dan Tantangan Pernikahan di Cina

Masalah “cowok sisa” di Cina yang disebabkan oleh ketidakseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan, serta kebijakan sosial yang mempengaruhi situasi ini. Di Cina, kebijakan satu anak yang diterapkan sejak 1970-an menyebabkan banyak keluarga memilih untuk membuang atau menggugurkan anak perempuan, yang mengakibatkan penurunan signifikan dalam jumlah perempuan. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan gender yang parah, dengan jumlah laki-laki yang jauh lebih banyak dibandingkan perempuan. Akibatnya, banyak laki-laki, terutama dari pedesaan, menghadapi kesulitan dalam mencari pasangan hidup.

Ketidakseimbangan ini menyebabkan tingginya permintaan terhadap wanita di Cina, yang berdampak pada mahalnya biaya pernikahan. Di pedesaan, biaya untuk menikah sering kali jauh melebihi pendapatan tahunan rata-rata, membuat banyak pria sulit untuk memenuhi syarat finansial untuk menikah. Di kota-kota besar, meskipun ada lebih banyak wanita, banyak pria dari pedesaan tidak mampu memenuhi tuntutan finansial yang tinggi untuk menikah, sehingga situasi ini berlanjut.

Selain faktor ekonomi, faktor sosial dan budaya juga berperan dalam memperburuk masalah ini. Di kota-kota besar, meskipun ada lebih banyak wanita, mereka sering kali memiliki tuntutan tinggi terhadap calon pasangan mereka, seperti memiliki karir yang sukses dan stabil. Sebaliknya, banyak pria yang berpendidikan rendah atau berasal dari pedesaan merasa tidak mampu memenuhi standar tersebut, sehingga mereka merasa terpinggirkan. Ini menciptakan kesenjangan antara pria dan wanita yang semakin memperburuk masalah “cowok sisa.”

Pemerintah dan masyarakat di Cina berusaha mengatasi masalah ini, tetapi kebijakan yang diterapkan sering kali tidak efektif. Banyak pernikahan yang terjadi karena faktor finansial, dan hal ini sering berakhir dengan perceraian, terutama di pedesaan. Masalah utama tetap pada ketidakseimbangan jumlah gender dan tuntutan sosial yang tinggi, yang membuat banyak pria dan wanita sulit menemukan pasangan hidup. Situasi ini juga mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak negara dalam mengatasi isu kesenjangan gender dan dampaknya terhadap masyarakat.