Kota-kota yang menjadi tuan rumah Olimpiade dulu sangat bersaing untuk mendapatkan kehormatan tersebut, yang dianggap sebagai kesempatan langka untuk memamerkan keunggulan mereka dan meningkatkan pariwisata serta investasi asing. Namun, seiring berjalannya waktu, minat untuk menjadi tuan rumah Olimpiade mengalami penurunan drastis. Dari belasan kota yang mendaftar pada Olimpiade 2000, kini hanya ada satu atau dua kota yang bersedia mengajukan diri sebagai tuan rumah, seperti Paris dan Los Angeles untuk Olimpiade 2024 dan 2028.
Penurunan minat ini tidak terlepas dari dampak finansial dan sosial yang dihadapi kota tuan rumah. Banyak kota yang mengalami pembengkakan anggaran secara signifikan dari rencana awal, seperti Olimpiade Tokyo 2020 yang biayanya melambung hingga 30 miliar USD. Selain itu, kota tuan rumah sering kali harus membangun infrastruktur baru yang mahal, seperti stadion dan fasilitas olahraga, yang sering kali tidak digunakan setelah acara berakhir.
Masalah ini diperburuk dengan kenyataan bahwa turis yang datang untuk Olimpiade sering kali tidak dapat menutupi biaya yang dikeluarkan. Di banyak kasus, jumlah turis malah menurun karena alasan seperti kepadatan dan harga tinggi selama acara berlangsung. Misalnya, Olimpiade Tokyo 2020 mengalami kerugian besar akibat pandemi dan penurunan jumlah pengunjung.
Selain itu, International Olympic Committee (IOC) juga mendapat kritik karena persentase hak siar TV yang mereka ambil semakin besar, yang berdampak negatif pada keuntungan kota tuan rumah. Seiring dengan meningkatnya biaya pemeliharaan fasilitas pasca-Olimpiade dan kurangnya dukungan dari IOC untuk menutupi kerugian, banyak kota kini enggan untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Dalam upaya mengatasi masalah ini, IOC sedang mempertimbangkan untuk menunjuk kota-kota tuan rumah secara bergiliran setiap 16 hingga 20 tahun untuk memastikan fasilitas yang dibangun tetap terpakai.