Di era saat ini, banyak pemimpin negara di seluruh dunia berusia sangat tua, yang tampaknya bertentangan dengan tren globalisasi dan kompleksitas isu-isu modern. Walaupun ada batas usia minimal untuk menjadi pemimpin yang dimaksudkan untuk memastikan kematangan dan pengalaman, kenyataannya banyak negara kini dipimpin oleh individu berusia di atas 70 tahun, seperti Joe Biden yang berusia lebih dari 80 tahun. Fenomena ini mencolok dibandingkan dengan satu dekade lalu, di mana mayoritas pemimpin negara memiliki usia yang lebih muda.
Beberapa faktor mendasari tren ini. Pertama, kemajuan dalam teknologi kesehatan memungkinkan orang untuk hidup lebih lama dan tetap aktif lebih lama, sehingga para pemimpin tua masih mampu menjalankan tugas mereka. Kedua, masalah finansial juga berperan penting; calon muda seringkali menghadapi kendala dalam hal dana dan koneksi politik, yang lebih mudah diakses oleh individu yang sudah berusia lanjut dan berpengalaman. Ketiga, incumbents atau pemimpin yang sudah menjabat memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan posisi mereka dalam pemilihan, berkat jaringan dan dukungan yang sudah terbangun.
Di Eropa, situasi agak berbeda dengan pemimpin yang umumnya lebih muda. Persaingan politik di Eropa lebih ketat dengan banyaknya partai kuat, yang mendorong pemilihan kandidat muda yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer. Di negara-negara ini, pemilihan lebih fokus pada gagasan dan ideologi, sehingga lebih memberi peluang pada kandidat muda yang inovatif.
Kondisi ini menimbulkan dampak negatif, terutama di kalangan pemuda. Banyak anak muda merasa kurang terlibat dan tidak antusias dengan politik, terutama jika mereka merasa suara mereka tidak memengaruhi hasil pemilihan. Ketidakpedulian ini diperburuk oleh pergeseran fokus dari masalah-masalah yang penting bagi generasi muda, seperti isu lingkungan, yang sering diabaikan oleh pemimpin yang lebih tua. Hal ini dapat menurunkan partisipasi politik di kalangan pemuda dan mengurangi peluang mereka untuk mempengaruhi arah kebijakan negara.