Letusan Gunung Toba sekitar 74.000 tahun lalu adalah salah satu erupsi gunung api terbesar dalam sejarah Bumi. Letusan ini menghasilkan Danau Toba, yang kini merupakan salah satu danau vulkanik terbesar di dunia. Dalam hal volume material yang dikeluarkan, letusan Toba sangat masif, mencapai antara 3.000 hingga 6.000 km³, jauh lebih besar daripada letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 yang hanya 45 km³. Endapan abu vulkanik dari letusan Toba sangat tebal, dengan ketebalan hingga 600 meter di Sumatera dan mencapai 3 meter di Malaysia. Bahkan, partikel mikroskopik dari abu vulkanik ini ditemukan di Cina dan Afrika, menunjukkan betapa luasnya dampak letusan tersebut.
Letusan Gunung Toba tidak hanya mempengaruhi lingkungan sekitar, tetapi juga berdampak pada iklim global. Abu vulkanik yang menyebar di atmosfer menyebabkan penurunan suhu global antara 3 hingga 5 derajat Celsius selama beberapa tahun setelah letusan, dengan penurunan suhu yang lebih ekstrem hingga 15 derajat Celsius di beberapa tempat. Penurunan suhu ini menyebabkan perubahan dramatis dalam iklim, yang berpotensi menyebabkan kekeringan parah dan mempengaruhi produksi pangan global. Selain itu, penurunan suhu yang signifikan mungkin menjadi salah satu faktor pemicu zaman es yang terjadi setelah letusan.
Teori yang dikenal sebagai teori bencana Toba mengaitkan letusan ini dengan penurunan populasi manusia yang drastis, atau genetic bottleneck, yang terjadi sekitar waktu yang sama dengan letusan Toba. Menurut teori ini, letusan Toba menyebabkan perubahan lingkungan yang ekstrem, termasuk penurunan suhu dan kekeringan, yang berdampak pada kemampuan manusia dan spesies lain untuk bertahan hidup. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa populasi manusia bisa berkurang drastis, meninggalkan hanya kelompok kecil yang bertahan, terutama di Afrika. Hal ini mungkin menjelaskan rendahnya variasi genetik pada manusia modern yang terlihat jika dibandingkan dengan spesies lainnya.
Namun, teori ini tidak tanpa kontroversi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa meskipun letusan Toba sangat besar, dampak terhadap iklim dan kehidupan mungkin tidak sebesar yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa studi menyarankan bahwa letusan ini tidak menyebabkan musim dingin berkepanjangan atau memicu zaman es, dan bahwa penurunan populasi manusia mungkin disebabkan oleh faktor lain. Selain itu, penemuan peradaban primitif di India yang bertahan selama waktu letusan Toba menunjukkan bahwa tidak semua wilayah terpengaruh secara signifikan, dan beberapa manusia mungkin berhasil bertahan dan beradaptasi. Seiring berjalannya waktu, pandangan ilmuwan tentang dampak letusan Toba terus berkembang, dengan beberapa penelitian bahkan menunjukkan bahwa letusan ini bisa saja mendorong inovasi dan kemajuan manusia dalam menghadapi tantangan lingkungan.