Kerusuhan Ekstremis di Inggris: Aksi Kekerasan, Penusukan Massal, dan Tanggapan Pemerintah

Dalam beberapa waktu terakhir, Inggris menghadapi kerusuhan besar yang melibatkan kelompok ekstremis sayap kanan dan mempengaruhi berbagai kota di negara tersebut. Kerusuhan ini dimulai setelah sebuah penusukan massal di Southport pada 29 Juli 2024, yang menewaskan tiga anak dan melukai delapan lainnya. Kasus ini memicu kemarahan publik dan protes, namun informasi yang beredar di kalangan kelompok sayap kanan mengklaim bahwa pelaku adalah imigran ilegal berkulit hitam dan Muslim, meskipun ini kemudian terbukti tidak benar.

Slogan “Enough is Enough,” yang digunakan oleh kelompok ekstremis sayap kanan dalam aksi mereka, awalnya adalah slogan sayap kiri yang menuntut hak dasar. Penyebaran informasi palsu mengenai pelaku penusukan memicu aksi kekerasan terhadap komunitas Muslim dan fasilitas yang mereka gunakan, seperti masjid dan tempat penampungan pengungsi. Kerusuhan ini meluas ke berbagai kota seperti Manchester, Liverpool, dan bahkan Belfast, dengan demonstrasi yang berubah menjadi tindakan vandalism dan kekerasan.

Meski sudah ada klarifikasi bahwa pelaku penusukan adalah seorang remaja Inggris dan bukan imigran Muslim, kerusuhan terus berlanjut. Pemerintah Inggris menanggapi dengan menambah jumlah aparat keamanan dan menangkap lebih dari 300 orang yang terlibat. Perdana Menteri Inggris mengecam keras kekerasan ini dan menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah premanisme sayap kanan yang tidak akan ditoleransi.

Di tengah krisis ini, ada juga rumor yang menyebutkan bahwa kerusuhan ini mungkin dipicu oleh upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah internasional seperti dukungan Inggris terhadap Palestina dan kritik terhadap Israel. Rumor ini belum terkonfirmasi, namun menunjukkan bagaimana ketegangan domestik bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk agenda politik mereka. Sementara itu, kerusuhan ini menjadi salah satu yang terparah di Inggris dalam satu dekade terakhir, mencoreng pemerintahan baru yang baru saja menjabat.

Warisan Kolonial: Dampak Penjajahan Inggris Terhadap Kesehatan dan Peningkatan Kasus Diabetes di India

Diabetes, khususnya tipe 2, sering kali terkait dengan pola makan dan gaya hidup modern yang tidak sehat. Namun, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penjajahan Inggris di Asia Selatan, terutama di India, turut berperan dalam peningkatan kasus diabetes di wilayah tersebut. Selama hampir 200 tahun pemerintahan Inggris, India mengalami banyak bencana kelaparan yang mengakibatkan dampak kesehatan jangka panjang, termasuk meningkatnya risiko diabetes.

Kelaparan yang berkepanjangan menyebabkan tubuh beradaptasi dengan cara yang meningkatkan efisiensi metabolisme, menghemat energi, dan memerlukan kalori yang lebih sedikit. Ketika individu yang mengalami kelaparan mulai mengonsumsi lebih banyak makanan tinggi kalori setelah penjajahan berakhir, tubuh yang telah beradaptasi dengan kekurangan makanan menjadi tidak dapat menangani asupan kalori yang berlebih, sehingga meningkatkan risiko diabetes dan penyakit kardiovaskular.

Selain itu, kebijakan kolonial Inggris yang sering kali tidak memberikan bantuan yang memadai kepada masyarakat yang kelaparan memperburuk kondisi tersebut. Misalnya, pada tahun 1876, meskipun terdapat surplus pangan di beberapa wilayah, bantuan tidak diberikan kepada daerah yang menderita kelaparan. Keputusan seperti itu memperpanjang penderitaan dan memperburuk situasi kesehatan masyarakat.

Saat ini, India memiliki tingkat penderita diabetes yang sangat tinggi, jauh melampaui negara-negara lain. Dampak jangka panjang dari kelaparan yang berkepanjangan dan kebijakan kolonial yang buruk telah meninggalkan jejak yang mendalam pada kesehatan masyarakat. Adaptasi tubuh terhadap kekurangan makanan yang berlangsung selama era penjajahan menjadi salah satu faktor utama dalam tingginya prevalensi diabetes di India saat ini.

Krisis Kemiskinan di Inggris: Memahami Dampak Krisis Ekonomi dan Biaya Hidup yang Meningkat

Situasi kemiskinan di Inggris yang semakin memburuk, meskipun negara tersebut dikenal sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia. Saat ini, sekitar 18% dari penduduk Inggris, atau sekitar 12 juta orang, berada di bawah garis kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut terjadi ketika pendapatan seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, dan situasi ini menjadi semakin parah dengan meningkatnya biaya hidup dan harga pangan yang melonjak.

Penyebab utama masalah ini berkisar pada dampak dari krisis keuangan global 2008, pandemi COVID-19, dan perang Rusia-Ukraina. Krisis-krisis tersebut telah memaksa Inggris untuk mengeluarkan dana besar, yang kemudian meningkatkan beban utang negara. Pemerintah Inggris terpaksa meningkatkan pajak untuk menutupi biaya, namun hal ini malah memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, karena beban pajak yang tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan.

Masalah semakin rumit dengan tingginya biaya perumahan dan menurunnya kualitas properti. Banyak rumah di Inggris yang sudah tua dan tidak layak huni, sementara harga properti terus melonjak, menyebabkan lebih dari 11 juta penduduk menghabiskan lebih dari 40% pendapatan mereka untuk biaya rumah. Hal ini diperburuk dengan inflasi dan biaya hidup yang meningkat, menambah beban ekonomi bagi masyarakat.

Satu-satunya cara untuk memperbaiki situasi ini adalah dengan meningkatkan produktivitas negara. Namun, kondisi produktivitas Inggris saat ini stagnan dan tidak mengalami peningkatan signifikan sejak krisis keuangan 2008. Faktor-faktor seperti penurunan jumlah tenaga kerja dan fasilitas kesehatan serta pendidikan yang tidak memadai memperburuk keadaan, menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diatasi. Video ini menanyakan apakah Inggris akan mampu keluar dari ancaman kemiskinan ini atau justru akan semakin terjerumus ke dalamnya.