Budaya Kerja di Jepang: Antara Dedikasi dan Kesehatan Mental

Budaya kerja di Jepang sering dipandang sebagai salah satu yang paling disiplin dan keras di dunia, dengan 57% atasan menolak pengajuan cuti karyawan. Meski demikian, data menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja di Jepang, yaitu sekitar 1.607 jam per tahun, masih lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Korea Selatan dan Indonesia. Banyak karyawan Jepang yang lembur tidak dibayar, mencerminkan dedikasi mereka terhadap perusahaan, meskipun hal ini berkontribusi pada masalah kesehatan mental dan fisik.

Stereotip mengenai etos kerja orang Jepang berasal dari sejarah mereka, terutama selama Restorasi Meiji, di mana masyarakat didorong untuk bekerja keras demi memajukan negara. Budaya ini menghasilkan norma yang tidak memperbolehkan karyawan pulang lebih awal dari atasan, sehingga banyak yang merasa harus lembur demi menghindari pandangan negatif dari rekan kerja. Lembur dianggap sebagai kewajiban, meskipun produktivitas di Jepang tergolong rendah dibandingkan negara lain.

Meskipun banyak karyawan merasa bersalah jika mengambil cuti, pemerintah Jepang kini mendorong mereka untuk memanfaatkan hak cuti agar dapat meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan mental. Survei menunjukkan bahwa banyak karyawan yang tidak tahu berapa lama jatah cuti yang mereka miliki, dan hanya sedikit yang menggunakannya sepenuhnya. Pada tahun 2019, pemerintah bahkan mewajibkan pengambilan minimal lima hari cuti per tahun untuk mendorong budaya kerja yang lebih seimbang.

Secara keseluruhan, perubahan perlahan mulai terjadi di Jepang, dengan banyak karyawan muda yang mulai mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan seimbang dalam bekerja. Meskipun budaya kerja yang ketat masih mendominasi, ada upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih baik, sehingga karyawan dapat menikmati hidup mereka lebih penuh tanpa merasa tertekan oleh pekerjaan.