Protes Unik di Paris: Aksi Berak Massal Menyuarakan Penolakan Olimpiade 2024

Olimpiade Paris 2024 sudah dimulai pada 26 Juli, namun banyak warga Paris menolak penyelenggaraan acara ini. Penolakan tersebut menarik perhatian karena beberapa orang memilih untuk melakukan protes dengan cara yang ekstrem, yakni buang hajat di Sungai Seine, yang merupakan salah satu venue untuk pertandingan.

Isu utama muncul ketika diumumkan bahwa Sungai Seine akan digunakan untuk cabang triathlon dan upacara pembukaan. Sungai ini diketahui memiliki masalah kebersihan, terhubung dengan sistem pembuangan limbah, sehingga banyak warga khawatir akan keselamatan para atlet. Meskipun pemerintah Prancis menggelontorkan 1,4 miliar Euro untuk sistem penyaringan air, hasil pengujian menunjukkan bahwa kontaminasi masih tinggi, termasuk bakteri E. coli.

Aksi protes semakin meluas ketika rencana Walikota Paris, Anne Hidalgo, untuk berenang di sungai sebagai bentuk pembuktian ditunda, menimbulkan kemarahan masyarakat. Hashtag “ajak berak massal” muncul sebagai bentuk sindiran terhadap pemerintah. Akhirnya, Walikota berhasil berenang di sungai, tetapi Presiden Macron belum melakukannya.

Selain masalah kebersihan, warga Paris juga mengungkapkan kekecewaan terhadap pengeluaran anggaran besar untuk Olimpiade di tengah masalah sosial yang belum teratasi. Kritikan juga datang dari negara lain terkait masalah kutu busuk di Paris dan fasilitas yang disediakan untuk atlet, yang dianggap tidak memadai.

Dominasi dan Strategi Partai Komunis Cina: Dari Revolusi hingga Era Xi Jinping

Partai Komunis Cina (PKC), didirikan pada tahun 1921, muncul dari gerakan revolusi yang terinspirasi oleh Bolshevik di Rusia. Awalnya, PKC beraliansi dengan Kuomintang (KMT) tetapi mengalami pengkhianatan dan penindasan yang mengarah pada peristiwa seperti Long March. Setelah kemenangan dalam Perang Dunia II melawan Jepang dan kekalahan KMT, PKC mendirikan Republik Rakyat Cina pada tahun 1949, menguasai seluruh daratan Cina.

Cina menerapkan sistem pemerintahan satu partai di mana PKC mengendalikan seluruh kekuasaan politik. Meskipun tampak tidak demokratis, PKC memiliki mekanisme intra-parti demokrasi di mana anggota partai terlibat dalam pemilihan pemimpin dan pengambilan keputusan melalui kongres nasional. Proses ini melibatkan pemilihan anggota komite pusat, polit biro, dan akhirnya Sekretaris Jenderal yang berfungsi sebagai pemimpin tertinggi partai.

Era Xi Jinping menandai perubahan signifikan dengan konsolidasi kekuasaan yang lebih besar pada dirinya. Xi Jinping memodifikasi konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai presiden dan menguatkan dominasi PKC. Sistem pemerintahan Cina menjadi semakin terpusat dan eksklusif di bawah kepemimpinannya, mengubah dinamika politik yang sebelumnya lebih terbagi.

PKC juga menerapkan sensor ketat terhadap berbagai informasi, termasuk melarang karakter Winnie the Pooh yang digunakan untuk mengejek Xi Jinping secara tidak langsung. Sensor ini mencerminkan usaha pemerintah untuk menjaga citra dan kekuasaan PKC dengan menutup informasi yang dapat merugikan. Di samping itu, PKC memiliki badan intelijen rahasia yang memainkan peran penting dalam menjaga keamanan dan kontrol internal.

Kerusuhan Ekstremis di Inggris: Aksi Kekerasan, Penusukan Massal, dan Tanggapan Pemerintah

Dalam beberapa waktu terakhir, Inggris menghadapi kerusuhan besar yang melibatkan kelompok ekstremis sayap kanan dan mempengaruhi berbagai kota di negara tersebut. Kerusuhan ini dimulai setelah sebuah penusukan massal di Southport pada 29 Juli 2024, yang menewaskan tiga anak dan melukai delapan lainnya. Kasus ini memicu kemarahan publik dan protes, namun informasi yang beredar di kalangan kelompok sayap kanan mengklaim bahwa pelaku adalah imigran ilegal berkulit hitam dan Muslim, meskipun ini kemudian terbukti tidak benar.

Slogan “Enough is Enough,” yang digunakan oleh kelompok ekstremis sayap kanan dalam aksi mereka, awalnya adalah slogan sayap kiri yang menuntut hak dasar. Penyebaran informasi palsu mengenai pelaku penusukan memicu aksi kekerasan terhadap komunitas Muslim dan fasilitas yang mereka gunakan, seperti masjid dan tempat penampungan pengungsi. Kerusuhan ini meluas ke berbagai kota seperti Manchester, Liverpool, dan bahkan Belfast, dengan demonstrasi yang berubah menjadi tindakan vandalism dan kekerasan.

Meski sudah ada klarifikasi bahwa pelaku penusukan adalah seorang remaja Inggris dan bukan imigran Muslim, kerusuhan terus berlanjut. Pemerintah Inggris menanggapi dengan menambah jumlah aparat keamanan dan menangkap lebih dari 300 orang yang terlibat. Perdana Menteri Inggris mengecam keras kekerasan ini dan menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah premanisme sayap kanan yang tidak akan ditoleransi.

Di tengah krisis ini, ada juga rumor yang menyebutkan bahwa kerusuhan ini mungkin dipicu oleh upaya untuk mengalihkan perhatian dari masalah internasional seperti dukungan Inggris terhadap Palestina dan kritik terhadap Israel. Rumor ini belum terkonfirmasi, namun menunjukkan bagaimana ketegangan domestik bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk agenda politik mereka. Sementara itu, kerusuhan ini menjadi salah satu yang terparah di Inggris dalam satu dekade terakhir, mencoreng pemerintahan baru yang baru saja menjabat.

Pemimpin Tua dan Dampaknya Terhadap Politik Global: Tantangan dan Tren Masa Kini

Di era saat ini, banyak pemimpin negara di seluruh dunia berusia sangat tua, yang tampaknya bertentangan dengan tren globalisasi dan kompleksitas isu-isu modern. Walaupun ada batas usia minimal untuk menjadi pemimpin yang dimaksudkan untuk memastikan kematangan dan pengalaman, kenyataannya banyak negara kini dipimpin oleh individu berusia di atas 70 tahun, seperti Joe Biden yang berusia lebih dari 80 tahun. Fenomena ini mencolok dibandingkan dengan satu dekade lalu, di mana mayoritas pemimpin negara memiliki usia yang lebih muda.

Beberapa faktor mendasari tren ini. Pertama, kemajuan dalam teknologi kesehatan memungkinkan orang untuk hidup lebih lama dan tetap aktif lebih lama, sehingga para pemimpin tua masih mampu menjalankan tugas mereka. Kedua, masalah finansial juga berperan penting; calon muda seringkali menghadapi kendala dalam hal dana dan koneksi politik, yang lebih mudah diakses oleh individu yang sudah berusia lanjut dan berpengalaman. Ketiga, incumbents atau pemimpin yang sudah menjabat memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan posisi mereka dalam pemilihan, berkat jaringan dan dukungan yang sudah terbangun.

Di Eropa, situasi agak berbeda dengan pemimpin yang umumnya lebih muda. Persaingan politik di Eropa lebih ketat dengan banyaknya partai kuat, yang mendorong pemilihan kandidat muda yang lebih relevan dengan isu-isu kontemporer. Di negara-negara ini, pemilihan lebih fokus pada gagasan dan ideologi, sehingga lebih memberi peluang pada kandidat muda yang inovatif.

Kondisi ini menimbulkan dampak negatif, terutama di kalangan pemuda. Banyak anak muda merasa kurang terlibat dan tidak antusias dengan politik, terutama jika mereka merasa suara mereka tidak memengaruhi hasil pemilihan. Ketidakpedulian ini diperburuk oleh pergeseran fokus dari masalah-masalah yang penting bagi generasi muda, seperti isu lingkungan, yang sering diabaikan oleh pemimpin yang lebih tua. Hal ini dapat menurunkan partisipasi politik di kalangan pemuda dan mengurangi peluang mereka untuk mempengaruhi arah kebijakan negara.

Drama Politik Thailand: Perubahan Kepemimpinan, Konspirasi, dan Kontroversi

Perpolitikan Thailand belakangan ini sangat dinamis dan penuh dengan konflik. Pemilu tahun lalu mengejutkan banyak orang karena partai Kaukl Move Forward, yang dikenal dengan nama partai orange, berhasil menang besar. Namun, ketua partai, Pita Limjaroenrat, gagal menjadi Perdana Menteri setelah berbagai tekanan dan kasus yang dihadapinya. Pada akhirnya, partai merah, Pheu Thai, yang dipimpin oleh Srettha Thavisin, naik ke posisi Perdana Menteri pada 22 Agustus 2023. Keberhasilan Srettha diikuti dengan kepulangan Taksin Shinawatra, mantan Perdana Menteri yang sudah lama mengasingkan diri.

Namun, situasi politik di Thailand semakin memanas setelah partai orange dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada 7 Agustus 2024. Pembubaran ini dilakukan dengan alasan partai orange melanggar hukum dengan kampanye yang dianggap tidak konstitusional, terutama upaya mereka untuk merevisi pasal yang menghukum kritik terhadap keluarga kerajaan. Selain itu, 11 petinggi partai, termasuk Pita, dilarang berpolitik selama 10 tahun. Ini menunjukkan tekanan besar terhadap partai oposisi dan upaya untuk menekan suara progresif di Thailand.

Sebagai respons, para pendukung partai orange membentuk partai baru yang dinamai Partai Rakyat, dipimpin oleh Natapong Rengpanyawat. Sementara itu, Srettha Thavisin, Perdana Menteri yang diangkat setelah Pita, digantikan pada 14 Agustus 2024 oleh Ung Ing Shinawatra, putri dari Taksin Shinawatra. Pencopotan Srettha dilakukan karena dianggap melanggar kode etik, khususnya terkait pengangkatan anggota kabinet yang pernah terlibat kasus penyuapan. Hal ini menunjukkan ketidakstabilan dalam pemerintahan dan dinamika politik yang terus berubah.

Ung Ing, yang menjadi Perdana Menteri termuda Thailand di usia 37 tahun, menghadapi reaksi negatif dari masyarakat. Banyak yang merasa bahwa keputusannya untuk menggantikan Srettha adalah bagian dari skenario yang sudah direncanakan, di mana Srettha dipilih untuk membuat kesalahan yang akhirnya membuatnya dicopot. Penunjukan Ung Ing ini juga diikuti dengan pengampunan untuk Taksin Shinawatra, yang mendapat pengampunan dari Raja Thailand tak lama setelah Ung Ing menjadi Perdana Menteri. Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan yang mendalam di kalangan publik Thailand terhadap arah politik negara tersebut.