Mengatasi Masalah Sampah di Negara Kecil: Strategi Singapura Menuju Zero Waste City

Singapura menghadapi tantangan besar terkait pengelolaan sampah karena terbatasnya lahan di negara kecil tersebut. Jumlah sampah padat yang dihasilkan meningkat pesat, dari 1.260 ton per hari pada 1970 menjadi 8.741 ton per hari pada 2021. Selama bertahun-tahun, Singapura mengekspor sampahnya ke negara tetangga seperti Cina, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia. Namun, sejak 2017, Cina mulai membatasi impor sampah, diikuti oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya, sehingga Singapura harus mencari solusi baru untuk mengatasi masalah sampah mereka sendiri.

Salah satu solusi yang dikembangkan Singapura adalah dengan membangun pabrik insinerasi “waste-to-energy” sejak 1970-an. Pabrik ini membakar sampah yang tidak bisa didaur ulang menjadi abu, dan panas yang dihasilkan digunakan untuk menghasilkan energi listrik. Sekitar 3% dari kebutuhan listrik Singapura kini berasal dari energi ini. Proses pembakaran sampah diinsinerator ini juga dilengkapi dengan sistem penyaringan yang ketat sehingga asapnya aman bagi lingkungan. Namun, masalah lain muncul, yaitu abu sisa pembakaran yang masih perlu dibuang, meskipun ruang yang diperlukan jauh lebih sedikit dibandingkan sampah padat.

Abu tersebut kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) di pulau buatan Semakau yang khusus dibangun untuk menampungnya. Pulau ini, meskipun berfungsi sebagai TPA, tetap bisa ditanami pohon karena hanya menampung abu sisa pembakaran, bukan sampah padat yang berbahaya. Proyek ini merupakan bagian dari rencana besar Singapura untuk mencapai Zero Waste City pada tahun 2030, dengan menggunakan teknologi dan manajemen yang canggih dalam pengelolaan sampah. Pemerintah Singapura juga mengalokasikan anggaran besar untuk mendukung sistem pengelolaan sampah ini.

Meskipun upaya Singapura sudah dianggap maju, masih ada kekurangan dalam literasi masyarakat tentang pentingnya memilah sampah. Sebanyak 40% sampah yang seharusnya bisa didaur ulang akhirnya harus dibakar karena tercampur dengan sampah lain, terutama sisa makanan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Singapura kini berfokus pada peningkatan edukasi tentang sampah di sekolah, masyarakat, dan sektor bisnis, dengan harapan masyarakat lebih sadar tentang pentingnya daur ulang dan pemilahan sampah yang tepat.

Memahami Teori Evolusi: Klarifikasi Sejarah dan Mispersepsi Terhadap Pandangan Darwin

Salah satu kesalahpahaman yang sering muncul adalah bahwa teori evolusi, terutama pandangan Charles Darwin, mengajarkan bahwa manusia berasal dari monyet. Namun, ini adalah interpretasi yang keliru. Darwin sendiri tidak pernah menyatakan bahwa manusia berasal dari monyet; melainkan, ia mengusulkan bahwa manusia dan monyet memiliki nenek moyang bersama yang sudah punah. Gambar “march of progress” yang sering digunakan untuk menggambarkan evolusi manusia bukanlah karya Darwin dan tidak dimaksudkan untuk menunjukkan proses evolusi dari monyet menjadi manusia.

Seiring waktu, teori evolusi telah disalahartikan dan seringkali menjadi kontroversi, terutama di kalangan orang-orang yang merasa bahwa teori ini bertentangan dengan ajaran agama. Misalnya, beberapa orang menganggap bahwa menerima teori evolusi berarti menolak ajaran agama mereka. Namun, banyak ilmuwan Muslim, seperti Ali Akbar, berargumen bahwa Nabi Adam bisa dianggap sebagai Homo sapiens sapiens pertama, bukan manusia purba. Pandangan ini menyatakan bahwa perbedaan anatomi dan budaya antara manusia purba dan manusia modern menunjukkan bahwa Nabi Adam adalah contoh awal dari Homo sapiens sapiens yang sudah sempurna.

Selanjutnya, ada juga pandangan dari Adnan Ibrahim yang mendukung teori evolusi secara umum tetapi memiliki pandangan berbeda tentang mutasi genetis. Menurut Ibrahim, mutasi genetis tidak terjadi secara acak tetapi merupakan bagian dari kehendak Tuhan. Ia berpendapat bahwa penciptaan dan evolusi adalah proses yang sistematis dan gradual, bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Ibrahim juga mengaitkan pandangannya dengan penjelasan Al-Qur’an tentang penciptaan dan proses alam semesta.

Akhirnya, penting untuk memahami bahwa teori evolusi dan ajaran agama tidak harus saling bertentangan. Proses evolusi, sebagaimana dipahami dalam sains, mencakup variasi dan adaptasi makhluk hidup sesuai dengan lingkungan mereka. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa kehidupan manusia, termasuk perbedaan ras dan budaya, muncul melalui proses panjang dan beragam. Oleh karena itu, memahami teori evolusi tidak perlu mengesampingkan keyakinan agama, melainkan dapat dilihat sebagai penjelasan ilmiah yang melengkapi pemahaman spiritual tentang penciptaan.